Saya sudah mengenal gedung bioskop di perempatan Senen (atau di berhadapan dengan Pasar Senen) ini sejak 1994.
Di lantai dasar gedung bioskop itu ada dua bioskop. Yang satu Grand Kramat, yang lainnya Mulia Agung Theater. Kesan pertama memasuki bioskop ini begitu menggoda, selanjutnya, terserah Anda...
Bagi saya, gedung bioskop ini memiliki kekhasan tersendiri, yang tidak dapat kita temukan di gedung bioskop lain di kota Jakarta.
Pertama, dari segi tema, judul film yang dibahas seringkali sangat serem, heboh, seronok, bahkan kadang jorok. Namun di gedung bioskop ini juga diputar film-film nasional. Film Barat ala Hollywood juga diputar, tapi umumnya sudah kedaluarsa. Seringkali, gambar dan judul film yang dipasang di luar itu hanyalah promosi. Sedangkan film sebenarnya yang diputar adalah film-film lawas.
Kedua, dari segi penonton, sebagian besar penonton gedung bioskop ini adalah kelas menengah ke bawah. Di situ banyak kita temui orang-orang dengan berbagai macam profesi, sopir bajaj, kondektur, sopir mikrolet, anak-anak kampung, pengangguran, anak-anak jalanan, yang mencoba mencari sejumput hiburan di tengah ganasnya kota Jakarta.
Ketiga, harga tiket juga tergolong murah meriah, dan terjangkau kalangan orang-orang miskin kota. Anda cukup membayar Rp5000 untuk sekali pertunjukan. Dibandingan dengan bioskop kelas XXI, gedung bioskop ini benar-benar merakyat, dan terbuka bagi siapa saja yang ingin menonton. Tidak ada kastanisasi penonton di sini, semua memiliki keinginan sama, menonton bioskop. Dan semua menerima keadaan masing-masing tanpa protes. Ada semangat egalitarianisme di sini.
Keempat, jika kita sudah masuk gedung bioskop dan menonton sebuah film. Jangan kaget jika pada akhirnya Anda akan sesak nafas, karena hampir semua penonton merokok di dalam gedung bioskop, sehingga gambar menjadi semakin kabur. Kadang, jika kaki Anda tidak Anda angkat saat duduk, bisa jadi kaki Anda menjadi ajag zigzag tikus dan kecoa yang bergembira mencari remahan makanan dari penonton. Selain bau asap rokok, hidung Anda juga akan menikmati aroma bau pesing.
Kelima, jika suatu ketika lampu mati, atau film agak tersendat dan berhenti putarannya, Anda akan mendengar berbagai macam sumpah serapah yang keluar secara spontan, jujur, dan ekspresif.
Gedung bioskop di Ujung Senen ini memang khas. Meski agak aneh, saya masih merasakan hawa kebebasan, dan kegairahan hidup di tengah kota Metropolitan yang kejam. Bolehlah, para penonton break sejenak dari kesibukan kerja, dan merasakan hiburan, yang bisa menambah panjang usia, melegakan otot, menstimulasi pikiran dengan gambar-gambar seronok yang memang menjadi realitas hidup manusia.
Tiap kali melewati gedung bioskop ujung Senen ini, saya merasakan dinamika dan semangat Revolusi Perancis itu hadir, di sana ada Kebebasan, Persaudaraan, dan Persamaan, sebuah suasana yang tidak dapat ditemukan di gedung-gedung Bioskop Megah di Kota Jakarta. Lebih lagi, bangunan ini merupakan satu-satunya bioskop tua yang masih bertahan, sementara gedung bioskop Jadoel lain sudah hilang, malih rupa, atau sirna, seperti Metropole, Rivoli, dll, bioskop ujung Senen masih tegak berdiri menentang sejarah. Meski terseok-seok di tengah perubahan Jakarta, bioskop ini tetap tegar menjaga identitas sejarahnya.
Debu dan karat yang menebal di pagar-pagar besinya adalah saksi bisu, bahwa tempat ini merupakan salah satu ruang kebebasan yang masih ada di kota Jakarta bagi kaum marginal. Anda mau apa saja silakan. Mau nonton film sambil main, film sendiri, silakan. Mau nonton sambil merokok, tidak peduli yang lain akan mati karena asap rokok Anda, tidak ada yang melarang.
Bahkan, kalau Anda ingin kencan dengan sesama jenis, atau memesan para perempuan pencari cinta di pinggiran Jakarta, semuanya juga ada dan tersedia. Mungkin karena harapan akan kebebasan, tawaran akan kegairahan hidup yang menantang inilah yang membuat gedung bioskop ini tetap bertahan.
Benarkah ia akan bertahan?