Selasa, 17 Agustus 2010

Gedung Bioskop di Ujung Senen



Saya sudah mengenal gedung bioskop di perempatan Senen (atau di berhadapan dengan Pasar Senen) ini sejak 1994.

Di lantai dasar gedung bioskop itu ada dua bioskop. Yang satu Grand Kramat, yang lainnya Mulia Agung Theater. Kesan pertama memasuki bioskop ini begitu menggoda, selanjutnya, terserah Anda...

Bagi saya, gedung bioskop ini memiliki kekhasan tersendiri, yang tidak dapat kita temukan di gedung bioskop lain di kota Jakarta.

Pertama, dari segi tema, judul film yang dibahas seringkali sangat serem, heboh, seronok, bahkan kadang jorok. Namun di gedung bioskop ini juga diputar film-film nasional. Film Barat ala Hollywood juga diputar, tapi umumnya sudah kedaluarsa. Seringkali, gambar dan judul film yang dipasang di luar itu hanyalah promosi. Sedangkan film sebenarnya yang diputar adalah film-film lawas.

Kedua, dari segi penonton, sebagian besar penonton gedung bioskop ini adalah kelas menengah ke bawah. Di situ banyak kita temui orang-orang dengan berbagai macam profesi, sopir bajaj, kondektur, sopir mikrolet, anak-anak kampung, pengangguran, anak-anak jalanan, yang mencoba mencari sejumput hiburan di tengah ganasnya kota Jakarta.

Ketiga, harga tiket juga tergolong murah meriah, dan terjangkau kalangan orang-orang miskin kota. Anda cukup membayar Rp5000 untuk sekali pertunjukan. Dibandingan dengan bioskop kelas XXI, gedung bioskop ini benar-benar merakyat, dan terbuka bagi siapa saja yang ingin menonton. Tidak ada kastanisasi penonton di sini, semua memiliki keinginan sama, menonton bioskop. Dan semua menerima keadaan masing-masing tanpa protes. Ada semangat egalitarianisme di sini.

Keempat, jika kita sudah masuk gedung bioskop dan menonton sebuah film. Jangan kaget jika pada akhirnya Anda akan sesak nafas, karena hampir semua penonton merokok di dalam gedung bioskop, sehingga gambar menjadi semakin kabur. Kadang, jika kaki Anda tidak Anda angkat saat duduk, bisa jadi kaki Anda menjadi ajag zigzag tikus dan kecoa yang bergembira mencari remahan makanan dari penonton. Selain bau asap rokok, hidung Anda juga akan menikmati aroma bau pesing.

Kelima, jika suatu ketika lampu mati, atau film agak tersendat dan berhenti putarannya, Anda akan mendengar berbagai macam sumpah serapah yang keluar secara spontan, jujur, dan ekspresif.

Gedung bioskop di Ujung Senen ini memang khas. Meski agak aneh, saya masih merasakan hawa kebebasan, dan kegairahan hidup di tengah kota Metropolitan yang kejam. Bolehlah, para penonton break sejenak dari kesibukan kerja, dan merasakan hiburan, yang bisa menambah panjang usia, melegakan otot, menstimulasi pikiran dengan gambar-gambar seronok yang memang menjadi realitas hidup manusia.

Tiap kali melewati gedung bioskop ujung Senen ini, saya merasakan dinamika dan semangat Revolusi Perancis itu hadir, di sana ada Kebebasan, Persaudaraan, dan Persamaan, sebuah suasana yang tidak dapat ditemukan di gedung-gedung Bioskop Megah di Kota Jakarta. Lebih lagi, bangunan ini merupakan satu-satunya bioskop tua yang masih bertahan, sementara gedung bioskop Jadoel lain sudah hilang, malih rupa, atau sirna, seperti Metropole, Rivoli, dll, bioskop ujung Senen masih tegak berdiri menentang sejarah. Meski terseok-seok di tengah perubahan Jakarta, bioskop ini tetap tegar menjaga identitas sejarahnya.

Debu dan karat yang menebal di pagar-pagar besinya adalah saksi bisu, bahwa tempat ini merupakan salah satu ruang kebebasan yang masih ada di kota Jakarta bagi kaum marginal. Anda mau apa saja silakan. Mau nonton film sambil main, film sendiri, silakan. Mau nonton sambil merokok, tidak peduli yang lain akan mati karena asap rokok Anda, tidak ada yang melarang.

Bahkan, kalau Anda ingin kencan dengan sesama jenis, atau memesan para perempuan pencari cinta di pinggiran Jakarta, semuanya juga ada dan tersedia. Mungkin karena harapan akan kebebasan, tawaran akan kegairahan hidup yang menantang inilah yang membuat gedung bioskop ini tetap bertahan. 

Benarkah ia akan bertahan?

Kamis, 12 Agustus 2010

Jakarta Aku Datang...

Siapa takut datang ke Jakarta?

Tidak ada yang takut datang ke Jakarta. Sebab Jakarta adalah tempat lahirnya harapan, terwujudnya keinginan, tempat di mana harapan hidup lebih baik itu ada.

Ya, Jakarta, aku datang.

Aku datang ke Jakarta pertama kali tahun 1994. Namun baru tahun 2010 untuk pertamakalinya aku memijakkan kaki di stasiun Jakarta Kota, yang menurutku model arsitekturnya mirip dengan banyak stasiun kereta api di Eropa. Mungkin, arsitektur Stasiun Jakarta Kota ini lebih mirip dengan Stasiun Kereta Api di Milan, Italia. Foto ini merupakan simbol permulaan perjalananku untuk mengenal kehidupan Jakarta Metropolitan.

Blog ini aku persembahkan terutama bagi pecinta kehidupan, namun terlebih bagi mereka semua yang merasa bertanggungjawab terhadap kehidupan Jakarta. Karena Jakarta adalah Ibukota Negara, aku mengandaikan bahwa penanggungjawab Jakarta tak lain adalah juga simbol dari penanggungjawan negeri ini.

Blog "Jakarta Aku Datang", berisi pernak-pernik kota Jakarta, baik itu yang kelihatan, tersembunyi, maupun hanya tersembunyi di balik pemikiran keprihatinan para warganya. Karena aku merasa diri sebagai warga Jakarta, layaklah aku mewakili salah satu warga negara yang pemikiran dan keprihatinannya perlu didengarkan oleh banyak orang, terutama oleh para wakil rakyat. Kalau toh tidak ada yang mendengarkan, paling tidak ada yang membaca tulisanku. Kalau toh tidak ada yang membaca tulisanku, paling tidak aku telah puas menuliskannya, sebab pepatah mengatakan, verba volant, scripta manent (kata-kata itu akan lepas hilang terbang di udara, sedangkan tulisan itu akan tetap tinggal).

Bagiku, Jakarta adalah ladang pergulatan hidup itu sendiri. Tempat di mana manusia berjumpa dengan realitas kehidupan yang keras, kasar, menghentak, namun juga menawarkan romantisme, cinta, dan harapan. Di sana ada manusia dengan pakaian parlente jas safari, yang berada di gedung-gedung tinggi ber-ac, namun sekaligus serentak ada anak-anak telanjang, manusia dewasa kumuh, yang hidup di pinggir jalan, di tumpukan sampah. Di sana ada kreativitas kelas tinggi yang tampil di gedung-gedung kesenian besar, dengan harga tiket tinggi, namun di situ pula ada berbagai macam seni jalanan yang bisa dijumpai di tiap kendaraan umum. Ada keteraturan, namun serentak kesremawutan. Ada kenyamanan, namun serentak ada kekhawatiran. Singkatnya, Jakarta adalah kota yang penuh dengan kontradiksi. Di kota inilah aku datang...

Jakarta, Aku datang...
Dka